Mandailing bertempat tinggal di pendalaman pesisir pantai barat pulau Sumatra dengan sistem pemerintahan tradisional, tradisi persawahan, pengembalaan kerbau, pelombongan/penambangan mas, persenjataan dan perairan. Kaya dengan mitologi asal-usul marga, Mandailing tercatat dalam kita Nagarakertagama pada abad ke 14, namun sulit mendapatkan catatan sejarah mengenai mereka. Tanah ibunda Mandailing dibagi kepada Mandailing Godang dan Mandailing Julu.Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian na Tolu
(Tumpuan Yang Tiga) – merujuk kepada aturan kekerabatan marga – yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis. Gordang Sambilan adalah gendang adat yang terdiri dari sembilan buah gendang yang relatif besar dan panjang, dan digunakan dalam ucapcara perkawinan, penabalan dan kematian.
Sabe-Sabe selendang istiadat dipakai untuk upacara adat
dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.
Mandailing Julu terhimpit oleh gunung-ganang yang sebagiannya mencapai ketinggian lebih dari 700 m dari permukaan laut, dan alam pergunungan ini membuat sebagian besar Mandailing Julu berhawa sejuk. Bagian selatan dan barat Mandailing Julu, alamnya makin tinggi dari permukaan laut sehingga udaranya lebih dingin kalau dibandingkan di bagian utara.
Keadaan alam yang demikian menyebabkan tempat-tempat tersebut sangat ideal untuk tanaman kopi di lereng-lereng gunung. Tanaman kopi diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke 19 melalui sistem tanam paksa. Pengeluaran kopinya terkenal sebagai “Mandahiling Coffee” yang di ekspot ke Amerika and Eropah sebelum Perang Dunia Kedua. Lereng-lereng gunung juga dimanfaatkan untuk tanaman getah/karet dan kulit kayu manis.
Penduduk Mandailing Julu umumnya mengolah persawahan yang sempit di kaki-kaki gunung dan di sepanjang tepi sungai Batang Gadis dan Batang Pungkut yang mengalir dari arah selatan ke utara. Petak-petak sawahnya, kecil dan bertangga-tangga. Kedua sungai tersebut bertemu di satu tempat yang bernama Muara Pungkut kurang lebih 4 km jauhnya dari Kotanopan.
Mandailing Julu sejak dulu terkenal kerana masnya, dari sebelum Belanda masuk banyak orang Agam (Minangkabau) yang datang mencari mas ke sana. Hingga sekarang bekas tambang/lombong mas mereka dapat ditemui di sekitar Pakantan, Huta Godang dan Huta Pungkut yang disebut garabak atau garabak ni Agom (tambang/lombong mas Agom).
Sungai Batak Gadis yang hulunya terletak di Gunung Kulabu dekat desa Pakantan melintasi seluruh wilayah Mandailing dari selatan ke utara dan bermuara di Singkuang (bahasa Cina, artinya, Harapan Baru) yang terletak di pantai barat Sumatra. Sungai tersebut dan sungai Batang Pungkut terkenal banyak mengandung mas. Sungai terbesar di Mandailing ialah Aek Batang Gadis yang hulunya berada di Mandailing Julu melintasi Mandailing Godang dari bagian selatan dan menyusuri bagian utara menuju ke barat.
Pusat Mandailing Julu ialah Kotanopan, yang menurut kepercayaan masyarakat Mandailing di sekitar tempat itulah dahulu kala, iaitu tak jauh dari Sungai Batang Gadis dan Sungai Aek Singengu serta sungai Aek Singangir, puterhadap-hadapan bermuara ke sungai Batang Gadis.
Menurut pesan Namora Pande Bosi kepada anaknya Si Langkitang dan Si Baitang, apabila mereka menemukan satu tempat di mana terdapat dua buah sungai yang muaranya bertentangan dari arah yang berlawanan, di tempat itulah mereka harus membuka pemukiman, yang mereka namakan Huta Panopaan, yang kemudian hari menjadi Kotanopan.
Kemudian, Si Langkitang pindah sedikit ke arah utara iaitu ke satu tempat yang bernama Singengu. Dari sini, keturunan Si Langkitang tersebar ke berbagai tempat menjadi raja-raja bermarga Lubis. Sementara saudara kembarnya, Si Baitang pindah pula ke bagian selatan dan keturunannya juga tersebar kera kembar Namora Pande Bosi iaitu Si Langkitang dan Si Baitang pertama kali membuka tempat pemukiman. Kedua Aek Singengu dan Aek Singangir be berbagai tempat menjadi raja-raja bermarga Lubis.
Ketika Belanda memasuki Mandailing Julu menjelang pertengahan abad ke 19, mereka mendirikan benteng di Singengu dan Kotanopan. Sampai masa kedatangan tentera Jepun/Jepang di Kotanopan, seorang Kontelir/Kontroler Belanda berpusat di Kotanopan. Justeru itu, terdapat banyak bangunan-bangunan berciri kolonial di situ seperti Kantor Pos dan Resthouse. Kotanopan merupakan pekan utama di Mandailing Julu.
Bagas Godang (Rumah Besar)
Setelah diangkat oleh penduduk menjadi raja, Si Baroar digelar Sutan Diaru. Dari Panyabungan Tonga-Tonga, keturunannya bertebaran dan menjadi raja-raja di berbagai tempat di Mandailing Godang. Sampai sekarang terdapat Bagas Godang (Rumah Besar) dan sebuah balai sidang adat yang dinamakan Sopo Godang (balai agung) di Panyabungan Tonga-Tonga. Dalam jarak yang tidak begitu jauh di sebelah selatan kedua bangunan tersebut terletak makam Si Baroar.
Di wilayah Sibanggor, kita dapat menemukan sumber-sumber air panas alami. Air panas yang kaya dengan kandungan belerang itu sangat bagus untuk menjaga kesehatan kulit. Penyakit kulit macam panu, kadas dan kurap kabarnya bisa diobati di sini.
Saat ini, tempat yang paling nyaman untuk menikmati air panas alami itu terletak di daerah Sibanggor Julu. Lokasinya ada di pinggir jalan. Di belakang sumber air panas menghampar pemandangan “karpet hijau”. Dari sawah sampai rimba dan puncak Gunung Sorik Marapi. Bila cuaca mendukung, kita dapat memuaskan diri untuk memainkan kamera atau alat perekam gambar.
Di sini sudah terbangun beberapa fasilitas, seperti kolam pemandian, sarana mandi uap, WC umum, dan tempat ibadah. Sayang bangunan-bangunan ini tak mendapat perawatan khusus hingga kondisinya amat memprihatinkan, kecuali untuk tempat ibadah. Paling parah, WC umum yang tak lagi berfungsi, rusak dan kotor.
Saat ini kamar mandi uap dikelola oleh masyarakat sekitar. Tak ada retribusi khusus, tetapi cukup bayar sukarela kepada warga yang bertugas menjaga fasilitas ini., fasilitas yang ada di tempat ini dibangun atas swadaya masyarakat dengan bantuan pemkab. Karena banyak yang berkunjung, masyarakat kedodoran untuk memelihara fasilitas yang ada.
Masalah sampah juga menjadi perhatian khusus. Di sekitar tempat berpotensi wisata ini tak tersedia tempat sampah. Jadi jangan kaget bila sisa buangan kegiatan manusia ini berceceran di tiap sudut. Paling kentara, ceceran plastik. Memang, sampah jenis ini butuh waktu yang lama untuk hancur. Mau tak mau supaya cita-cita ekowisata dapat terwujud, semua pihak harus turun tangan menangani masalah ini.
Ekowisata boleh jadi cita-cita. Untuk mewujudkannya pekerjaan rumah telah menanti untuk diberesi. Bila serius cita-cita pun bisa tergapai dan paling penting punya nilai keberlanjutan tinggi.
Untuk membuktikan potensi ekowisata Madina, kami sempat mengunjungi Sibanggor.
Wilayah Sibanggor terdiri dari tiga desa: Sibanggor Jae, Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu. Bila Anda berada di ketiga desa ini dijamin akan betah berlama-lama. Dengan kontur yang menaik, pemandangan desa dari tempat yang tinggi terlihat begitu cantik. Semuanya masih tradisional dan alami. Apalagi di desa Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu, rumah-rumah penduduk terlihat asli dengan gaya rumah panggung beratapkan ijuk.
Penduduk memakai ijuk sebagai bahan utama atap rumah karena di daerah ini udaranya banyak mengandung belerang. Bila memakai bahan seng, atap jadi cepat berkarat. Gas belerang datang dari kawah puncak Gunung Sorik Marapi (2.142 mdpl).
Dengan ijuk semuanya akan terlihat alami dan sekaligus mendukung cita-cita ekowisata. Untuk itu, pemkab Madina juga akan mengembangkan penanaman pohon enau. Tentu saja akibat dikeluarkan aturan itu harga ijuk akan melonjak.Hunian ijuk nan sejuk itu dapat dikembangkan sebagai pendukung cita-cita ekowisata Madina. Pemandangan deretan rumah penduduk amat sedap dipandang dari puncak bukit. Ini akan memancing minat para wisatawan.
Bila pengelola daerah jeli, masyarakat dapat membuka homestay di rumah-rumah mereka. Tak perlu dilengkapi fasilitas mewah yang bergaya metropolis, macam pendingin ruangan, lemari es atau lainnya. Namun, kunci utama homestay ini justru pada prinsip sanitasi dan keasrian yang dijunjung tinggi.
Bila sanitasi dan keasrian sudah dikantungi, jangan lupakan pula persoalan tarif. Sebagai promosi, hitung-hitungan hunian jangan terburu-buru untuk mematok harga tinggi. Itu sebabnya riset ekonomi wajib dilakukan pihak pemerintah kabupaten. Langkah berikut, tinggal membina masyarakat agar terbiasa menerima kunjungan turis – terutama, turis berselera ekowisata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar